Aku Cinta Nabi
Aku Cinta Nabi
Oleh:
Amiruddin, S.Pd.I., M.Pd.I
Hingga saat ini tata cara beribadah masih sering lebih mengikuti kebiasaan orang banyak daripada petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Gaya hidup, cara berpakaian, tutur kata, masih lebih mengidolakan para artis, bintang bola, dan sebagainya daripada tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Maka sudah benarkah kecintaan kita pada beliau ?.
Bulan Rabiul Awwal, diyakini sebagai bulan kelahiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, sehingga serentak pembicaraan terpokus pada sosok manusia terbaik, sekaligus pemimpin ummat yang tidak akan tertandingi hingga akhir zaman. Situasi sebelum dan pasca kelahiran Nabi, hingga pase Nubuwah menjadi trending topik pada segala lini, terutama pada generasi perindu, yang berupaya mencintai dan meneladaninya.
Kegiatan seremonial beserta rangkaiannya menyita perhatian publik, mereka dalam menyikapinya pun beragam, ada yang menghidupkannya dengan dalil syiar Islam dan upaya cinta Nabi, namun ada pula yang wujud kecintaanya lebih diekspresikan dengan meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dalam segala aspek kehidupanya. Menghidupkan shalat berjamaah di Masjid bagi laki-laki, berarti telah mencintai Nabi, menjaga kerukunan hidup bertetangga, adalah wujud mencintai Nabi, saling menghargai, dan menghormati perbedaan, tidak tergesa-gesa menghukumi, mudah menyalahkan, menyebar kedustaan, semuanya dalam wujud kecintaan pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.
Perintah Cinta Nabi
Disebutkan di dalam sabda beliau Shallallahu Alaihi Wasallam:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ رواه البخاري
Artinya :
“ Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga menjadikan aku lebih ia cintai dari orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia”. (HR. Bukhari)
Mencintai Rasulullah hukumnya wajib, bahkan termasuk kewajiban terbesar dalam agama. Tidak sempurna iman seorang hamba, kecuali dengannya. Oleh karena itu, Allah memerintahkan umat ini untuk mencintai Rasulullah melebihi dirinya, keluarga, harta dan seluruh manusia. Allah berfirman :
“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai lebih daripada Allah dan RasulNya dan (dari) berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik” (At-Taubah : 24).
Al Qadhi Iyadh menyatakan, ayat ini cukup menjadi anjuran dan bimbingan serta hujjah untuk mewajibkan mencintai beliau dan kelayakan beliau mendapatkan kecintaan tersebut, karena Allah menegur orang yang menjadikan harta, keluarga dan anaknya lebih dicintai dari Allah dan Rasul Nya.
Selain hadits Abu Hurairah ini, hadits-hadits yang memerintahkan kecintaan pada Nabi cukup banyak, diantaranya seperti dalam hadits Umar bin Al Khaththab :
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ آخِذٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلَّا مِنْ نَفْسِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ فَإِنَّهُ الْآنَ وَاللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْآنَ يَا عُمَر ُ رواه البخاري
Artinya :
“Kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, dan beliau dalam keadaan memegang tangan Umar bin Al Khaththab, lalu Umar berkata kepada beliau: “Wahai, Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku,”lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Tidak, demi Dzat yang jiwaku di tanganNya, sampai aku lebih kamu cintai dari dirimu sendiri”. Lalu Umarpun berkata: “Sekarang, demi Allah, sungguh engkau lebih aku cintai dari diriku sendiri,” lalu Nabi bersabda: “Sekarang, wahai Umar”. (HR. Bukhari)
Kalau saja Umar Bin Khattab, mendapatkan koreksi kualitas kecintaanya pada Nabi, maka bagaimana lagi dengan kita yang hidup zaman ini. Maka mengupayakan kecintaan tertinggi seharusnya menjadi prioritas setiap pribadi Muslim, hingga mencapai derajat kecintaan yang sepurna.
Hakekat Cinta Nabi
Dalam kitab Tauhid, Syaikh Shaleh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan Rahimahullah, menyebutkan bahwah, kecintaan dan pengagungan kepada Rasulullah, dapat diwujudkan dalam banyak hal sebagai konsekwensi Syahadat kepada beliau Sallallahu ‘alaihi Waasallam, berikut ini penulis rangkum sebagai berikut :
- Mencintai beliau Shallallahu Alaihi wasallam di atas kecintaan kepada diri sendiri, keluarga dan seluruh manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri”. (Qs. Al Ahzab : 6)
Seseorang dengan kecintaanya dituntut siap mengorbankan jiwa dan hartanya, sebagaimana hal itu mutlak dilakukan pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Waasallam, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Artinya :
“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Badui yang berdiam di sekitar mereka tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang), dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah, karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shalih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik” (At Taubat :120).
- Membenarkan semua yang diberitakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah, menaati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua perintahnya dan menjauhi segala larangannya, serta beribadah hanya dengan syari’atnya.
- Melaksanakan semua konsekwensi dari cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa i’tikad, pernyataan ataupun amalan, sesuai dengan hak-hak Rasulullah yang Allah wajibkan kepada hati, lisan dan anggota tubuh, sehingga beriman dan membenarkan kenabian, kerasulan dan seluruh ajaran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu melaksanakan kewajiban dengan segenap kemampuannya, berupa ketaatan, ketundukan kepada perintahnya dan meneladani sunnahnya.
- Mendahulukan perkataan beliau diatas perkataan yang lain, serta mengikuti sunnahnya.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman yang artinya:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah” (Qs. Al Hasyr :7 ).
Renungan …
Hingga saat ini tata cara beribadah, masih sering lebih mengikuti kebiasaan orang banyak daripada petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Gaya hidup, cara berpakaian, tutur kata, masih lebih mengidolakan para artis, bintang bola, dan sebagainya, daripada tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Maka sudah benarkah kecintaan kita pada beliau ?.
Dalam bermasyarakat, seharusnya Rasulullah menjadi teladan dalam bertetangga, namun justru tidak akrab, tidak saling mengenal satu sama lain, meskipun rumah mereka dalam satu kompleks. Demikianlah seterusnya, padahal Rasulullah adalah teladan terbaik kita dalam bertetangga. Dalam banyak hal kita masih lebih sering mendahulukan petunjuk selain petunjuk Nabi, padahal diantara konsekwensi kecintaan kita maka segalanya mesti mendahulukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.
Semoga kecintaan kita kepada Rasulullah akan lebih baik, dan terus mengupayakannya dengan meneladani beliau dalam segala aspek kehidupan kita, hingga derajat kecintaan kita akan diakui oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Wallahu A’lam Bissowab.
Mamuju, 12 Rabiul Awwal 1440 H.