PAHLAWAN DI MASA PANDEMI
Pahlawan, sebuah kata yang berat untuk sekedar dilabelkan. Membutuhkan pembuktian yang nyata, tidak sekedar disematkan karena di dalamnya berisi nilai-nilai perjuangan yang diharapkan menginspirasi para penerusnya.
Untuk mendapatkan pengakuan sebagai pahlawan nasional di negeri ini, butuh penelusuran sejarah. Track record, riwayat pengabdian dan perjuangan dalam mempertahankan bangsa dan negara dari ronrongan penjajah dan para pemecah belah kesatuan bangsa atau mungkin karya yang monumental sehingga mengharumkan nama bangsa.
Diantara beberapa para pahlawan nasional yang telah mendapatkan pengakuan, diantaranya ada yang terlahir kontroversial untuk diakui sebagai pahlawan atau bahkan diantara mereka ada yang namanya tidak dikenal oleh manusia. Sosok kepahlawanan tidak selalu membutuhkan pengakuan manusia, ada diantara mereka yang lebih memilih dikenal oleh penduduk langit dibanding tenar di mata penduduk bumi.
Penulis teringat dengan kisah Uwais bin ‘Amir Al Qarni, salah seorang tabi’in di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang memilih menyembunyikan keadaan dirinya. Bahkan Rasulullah sendiri belum pernah bertemu langsung dengan Uwais. Rahasia yang ia miliki cukup dirinya dan Allah yang mengetahuinya. Tidak ada sesuatu yang nampak pada orang-orang tentang dia. Hamba Allah yang tidak dikenal di dunia namun dikenal di langit.
Seorang anak muda yang berasal dari Negeri Yaman, memenuhi permintaan Ibunya untuk berkunjung ke Baitullah. Anak muda yang menggunakan kekuatannya untuk menggendong Ibunya dengan berjalan kaki dari Yaman menuju Mekkah. Setelah sampai di Mekkah beliau mendoakan Ibunya agar dimasukkan surga.
Sebuah potret perjuangan dari seorang anak yang dipersembahkan untuk Ibunya. Tidak mendapatkan gelar kepahlawan dan namanya pun tidak cukup dikenal oleh manusia. Jadi sejatinya wujud kepahlawan tidak selalu berakhir dengan ketenaran. Di masa-masa pandemi saat ini, mungkin begitu banyak pergorbanan yang telah dilakukan oleh orang-orang yang tak dikenal, yang mungkin saja tidak terpublikasikan.
Masa pandemi adalah masa sulit yang dampaknya dirasakan masyarakat secara global. Di hari yang bersejarah ini disamping mengenang jaza pahlawan yang telah berjuang untuk kemerdekaan, marilah mencoba belajar berterima kasih terhadap orang-orang yang ada di sekitar kita yang mungkin telah berjaza dalam kehidupan ini.
Coba kita renungi, makanan yang kita lahap di rumah yang mungkin kita membelinya dari jaza seorang ibu penjual ikan, sayur atau buahan-buahan yang sejak subuh hari meninggalkan rumahnya. Jualannya diangkat dari becak dengan napas yang terengah-engah karena ketaatannya untuk tetap menggunakan masker di masa new normal. Ibu penjual itu pun tiba di pasar setelah menggunakan jaza seorang tukang becak yang bermandikan keringat akibat mengayuh pedal becaknya sambil menahan nafas dengan maskernya.
Lihatlah para petugas kesehatan yang telah mengorbanan waktu, tenaga dan pikirannya dalam memberikan pelayanan terbaik selama Pandemi Covid-19. Mungkin diantara mereka, jangankan berpikir pulang kampung, untuk bersilaturahmi dengan keluarga bahkan mengunjungi istri dan anak saja sangat terbatas mereka lakukan. Tidakkah kita merasa iba, melihat seorang Ibu/Ayah yang sangat rindu ingin memeluk erat buah hatinya namun karena tugas negara yang berisiko, mereka pun harus mengurungkan niatnya.
Orang-orang yang konsisten melaksanakan sunnah Rasul-Nya pun di masa pandemi ini tidak mau ketinggalan dengan upaya dan ikhtiar mereka. Tetap mematuhi protokol kesehatan, menggunakan masker, menjaga jarak dalam melaksanakan sholat berjamaah di Masjid demi mencegah diri, keluarga dan orang-orang sekitarnya dari penularan virus ini. Mereka tidak pernah ragu dengan pertolongan Allah lewat doa-doa mereka namun demi kepatuhan pada pemerintah, mereka pun ikhlas melakukannya walaupun diserang cercaan oleh saudara muslim sendiri yang berbeda pemikiran.
Mungkin para penjual sayur atau tukang becak yang masih konsisten menggunakan masker itu, tidak ada yang mengenal namanya atau tempat tinggalnya. Mereka memilih terkenal di penduduk langit, mereka yakin usaha kecil yang mereka lakukan dapat menghindarkan saudaranya dari penularan virus walaupun itu tidak dinilai manusia sebagai kebaikan.
Petugas kesehatan yang telah mengorbankan waktu merawat pasien-pasien yang terindentifkasi tertular virus corona mungkin tak lepas dari cercaan manusia. Berbagai sudut pandang yang digunakan pun menjadikannya dilabeli dengan berbagai macam label terkait dengan aktifitasnya. Orientasi bisnis, konspirasi, kurang profesional sengaja dibuat-buat, wallahu ta’ala ‘alam. Bukankah niat ikhlas melakukan kebaikan itu, cukup Allah saja yang menilainya.
Orang-orang yang tetap konsisten menerapkan protokol kesehatan di tempat-tempat Ibadah di masa new normal tentu merasakan ketidaknyamanan, begitu halnya seorang muslim yang melaksanakan sholat dalam kondisi menggunakan masker dan merenggangkan shaf-shafnya juga merasa tidak nyaman. Dalam konsisi itu, mereka tetap bersabar dan meyakini sesungguhnya Allah maha melihat bagaimana keseriusan hamba-Nya untuk bertahan dalam kondisi sulit. Mereka yakin bahwa ada ganjaran besar yang Allah peruntukkan bagi mereka yang bersabar.
Dari beberapa ilustrasi diatas semakin memberikan penguatan bahwa menjadi seorang pahlawan itu tidak cukup dengan pengakuan manusia. Menjadi pahlawan butuh perjuangan, pengorbanan, kesabaran, bahkan tidak gentar dengan cercaan manusia sekali pun. Mereka tidak mengharapkan panggilan sebagai pahlawan (orang yang paling berjaza) dari lisan manusia namun mereka butuh balasan dari Sang pengatur segala kehidupan. Dari kondisi ini setidaknya memberikan bahan renungan tentang dimana posisi kita, apakah kita memilih menjadi pecundang, pahlawan kesiangan atau mejadi pahlawan sesungguhnya, Wallahul musta’an.
Mamuju, 10 November 2020
Akhukum fillah
Ashriady