Seri Ceramah Tarawih 10: Kesabaran Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam
Oleh:
Ashriady, SKM., M.Kes
Ketua Departemen Humas dan Soskes Wahdah Islamiyah Mamuju
Rasulullah Shallallahi ‘alaihi wasallam mengeluh kepada Allah Subhanahu Wata’ala, Ya Allah kemanakah engkau akan arahkan tubuhku dan diriku ini?, apakah kepada masa depan yang tidak jelas?, ataukah kepada masyarakat Makkah yang sudah menolak dakwah ini?. Tetapi ya Allah, jika engkau tidak murka kepadaku atau perbuatanku ini tetap engkau ridhoi sebagai pencipta maka aku tidak peduli walaupun semua darahku harus mengucur habis.
Sabar secara bahasa berarti al habsu yaitu menahan diri, secara istilah berarti menahan diri dari melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu. Secara istilah syar’i, sabar dapat dikategorikan menjadi 3 jenis: sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wata’ala, sabar dalam menghindarkan diri dari kemaksiatan, sabar dalam menerima takdir Allah Subhanahu Wata’ala.
Sabar dalam Melaksanakan Ketaatan Kepada Allah Subhanahu Wata’ala
Kehadiran kita melaksanakan shalat tarawih 1 juz 1 malam secara berjamaah di tempat ini adalah salah bentuk kesabaran kita melakukan ketaatan kepada Allah Subahanahu Wata’ala. Hal ini bukanlah perkara yang mudah bagi sebagian orang akan tetapi kita harus tetap bersabar di atasnya, berupaya menahan diri walaupun mungkin sebagian kita masih merasakan berat untuk berdiri lama bersama imam dengan tarawih 1 juz 1 malam ini.
Adapun kita yang diberikan kemudahan oleh Allah Subhanahu Wata’ala untuk berdiri lama, maka bersyukurlah. Semoga ini menjadi tanda-tanda bahwa kita merasakan kebahagiaan, sebagaimana perkataan seorang ulama yang lahir di abad ke 6 Hijriyah, Al Imam Abu Ali Al Hasan bin Ali Al-Jauzajani bahwa salah satu tanda kebahagiaan bagi seorang mukmin adalah ketika diberikan kemudahan dalam melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Sabar dalam Menjauhi Kemaksiaatan
Melakukan kemaksiatan itu tidak sesulit melakukan ketaatan bahkan kemaksiatan itu terkadang diselimuti dengan keindahan yang menggiurkan, maka dari itu kita harus berusaha menahan diri dari melakukan kemaksiatan tersebut. Lihatlah apa yang telah menimpa Nabi Yusuf Alayhissalam saat beliau diajak berzina oleh seorang wanita cantik dan istri Raja Al-Aziz, tetapi beliau menolak dan mengatakan saya takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Sabar dalam Menerima Takdir Allah Subhanahu Wata’ala
Sebagai seorang mukmin kita harus meyakini bahwa setelah kita berusaha melakukan berbagai upaya maka selanjutnya kita serahkan urusan kepada Allah Subhanahu Wata’ala sebagai sang pengatur kehidupan ini. Sebagaimana perkataan Ubadah Ibnu Shamit: ”Engkau tidak akan pernah merasakan lezatnya dan indahnya kehidupan sampai engkau meyakini bahwasanya apa yang telah ditakdirkan untukmu tidak ada yang mampu untuk menghalanginya, dan apa yang tidak ditetapkan untukmu tidak ada yang mampu memberikannya”. Inilah adalah perkara aqidah, dimana kita harus senantiasa bersabar menerima takdir Allah Subhanahu Wata’ala.
Tidak ada orang yang diterpa berbagai bentuk musibah, kesulitan, kesengsaraan dan problem yang berata sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam namun beliau tetap dalam keadaan sabar dan berharap pahala kepala Allah Subhanu Wata’ala. Sifat sabar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dapat dilihat dalam seluruh aktifitas beliau baik ketika berinteraksi dengan keluarga, ketika berdakwah maupun ketika beliau berada di medan perang.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sabar di atas keyatiman, kemiskinan, kelaparan dan kesulitan hidup. Rasulullah dilahirkan setelah Ayahnya meninggal, Abdullah bin Muththalib meninggal di usia 25 tahun yang pada waktu itu Rasulullah masih dalam kandungan. Tentu ini cobaan terberat bagi seorang anak.
Paman beliau, Abu Thalib wafat beliau bersabar, saat istri beliau wafat, beliau tetap sabar. Mereka mengusir dan memerangi beliau dan beliau tetap sabar. Paman beliau Hamzah bin Abdul Muththalib terbunuh, putra beliau wafat, beliau tetap sabar. Istri beliau yang suci dituduh melakukan perbuatan keji secara dusta dan palsu, beliau tetap sabar.
Beliau bersabar sekalipun kerabatnya dibunuh, para sahabatnya dibantai, para pengikutnya diusir, para musuh bersatu padu memusuhinya, para seterunya berkonspirasi terhadapnya, orang-orang yang berkumpul satu kata memeranginya.
Beliau bersabar terhadap dunia dan segala kenikmatan dan keindahannya, hati beliau tidak sedikitpun tergoda olehnya. Suatu ketika Rasulullah mengunjungi rumah istrinya dan kemudian beliau bertanya “adakah sesuatu yang bisa dimakan?”. Istri beliau menjawab “yang kita punya cuman air”.
Kita bisa membayangkan bagaimana kondisi rumah Rasulullah, orang termulia dan teragung akan tetapi di rumah beliau hanya tersedia air putih bahkan dalam sebuah riwayat dijelaskan terkadang beliau selama 2 hari tidak pernah merasakan kenyang. Suatu kondisi yang sangat berbeda dengan yang kita rasakan saat ini, di rumah kita berlimpah makanan dengan berbagai variasinya.
Kesabaran Rasulullah dalam urusan dakwah merupakan teladan dan contoh terbaik sehingga Allah Subhanahu Wata’ala menegakkan bangunan Agama ini. Beliau adalah orang yang sabar dan berharap pahala kepada Allah dalam segala urusan hidupnya, sabar adalah baju besi beliau, perisai, rekan dan sekutunya.
Setip kali ucapan musuh-musuh mengganggunya, beliau teringat Firman Allah Subhanahu Wata’ala:
فَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ
Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan,…(Q.S Thaha ayat 130)
Setiap kali kekuatan musuh membuatnya khawatir dan rencana makar orang-orang kafir mengguncang tempat tidur Rasulullah, beliau teringat Firman Allah Subhanahu Wata’ala:
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar… (Q.S Al-Ahqaf ayat 35).
Dari Urwah bin Az-Zubair beliau berkata, Aku bertanya kepada Abdullah bin Amr tentang perbuatan paling berat yang dilakukan oleh orang-orang musyrikin terhadap Rasulullah, dia berkata, “Aku melihat Uqbah bin Abu Mu’aith mendatangi Nabi yang sedang shalat, dia membelitkan kainnya ke leher Nabi lalu mencekik beliau dengan sangat kuatnya. Lalu Abu Bakar datang dan menyingkirkannya dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sambil berkata:
أَتَقْتُلُونَ رَجُلًا أَن يَقُولَ رَبِّىَ ٱللَّهُ
‘Apakah kalian hendak membunuh seorang laki-laki yang berkata, “Tuhanku adalah Allah?….” (Q.S Ghafir ayat 28)
Suatu hari Nabi Shallallahi ‘alaihi wasallam sedang shalat di dekat Ka’bah, saat itu Abu Jahal dan rekan-rekannya sedang duduk, sebagian berkata kepada sebagian yang lain, “Siapa diantara kalian yang mau menghadirkan jeroan unta Bani Fulan lalu meletakkannya di punggung Muhammad manakala dia sujud”?. Maka orang paling celaka bangkit dan datang membawanya, dia menunggu sesaat sampai Rasulullah sujud dan dia meletakkannya di atas punggung Rasulullah, diantara kedua pundaknya. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Saat itu aku melihat, namun aku tidak bisa berbuat apa pun, seandainya aku mempunyai kekuatan saat itu”.
Lalu mereka tertawa dan saling melempar perbuatan, sementara Rasulullah sendiri tetap sujud tidak bangkit, sampai Fathimah datang dna membuangnya dari punggung beliau, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit dan mengucapkan “Ya Allah, adzablah Quraisy”. Beliau mengucapkannya tiga kali.
Waktu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di Kota Makkah, beliau belum mendapatkan keberhasilan yang begitu gemilang. Sekitar 13 Tahun Rasulullah berdakwah hanya sekitar 70 orang yang menjadi pengikut beliau dari ribuan penduduk Kota Makkah. Maka dari hal tersebut, saat dakwah Rasulullah berjalan kurang lebih 8 – 9 tahun di Kota Makkah, beliau berinisiatif untuk mencari lokasi dakwah yang lain apalagi pada saat itu pamannya Abu Thalib dan istri beliau Khadijah telah meninggal dunia.
Pilihan lokasi dakwah Rasulullah tertuju pada sebuah kota yang jaraknya sekitar 60 km dari Kota Makkah. Kota ini bernama Thaif, sebuah kota yang terdiri dari pegunungan dengan kondisi cuaca yang sejuk bahkan digambarkan bahwa di kota ini pada siang hari pun, orang masih menggunakan selimut.
Rasulullah Shallallahi ‘alaihi wasallam berangkat menuju ke Kota Thaif dengan berjalan kaki sejauh 60 km ini. Setelah sampai disana, bertemu dengan pemimpin suku yang mendiami kota itu, suku tersebut bernama Bani Tsaqif, akan tetapi dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ditolak oleh mereka. Ternyata Abu Lahab, Paman Rasulullah sendiri yang membuntuti dari belakang telah menyebar kebohongan kepada masyarakat Kota Thaif ini dan mengatakan “Jangan engkau mengikuti ajaran Muhammad, sesunguhnya dia itu penipu, pembohong, penyihir sehingga akhirnya Rasulullah pun diusir dari kota tersebut.
Bahkan pada waktu itu, Rasulullah tidak hanya sekedar diusir tapi para penduduk kota ini berkumpul dan ingin merajam Rasulullah. Seluruh penduduk Kota Thaif berkumpul melempari Rasulullah dengan batu, yang dilempari bukan tubuh Rasulullah tetapi kaki beliau. Suatu bentuk penyiksaan yang menyesakkan dada, saat Rasulullah melangkahkan kakinya maka mereka pun berlomba-lomba melempari kaki Rasulullah. Pada saat Rasulullah mengangkat kaki kirinya maka kaki kirinya yang dilempar, pada saat Rasulullah mengangkat kaki kanan maka kaki kanan pun yang dilempari masyarakat Kota Thaif tersebut. Kedua kaki Rasulullah berlumuran darah, suatu bentuk penyiksaan kepada orang yang mulia namun Rasulullah Shallallahi ‘alaihi wasallam tetap bersabar, beliau sedikit demi sedikit melangkahkan kakinya sambil menahan rasa sakit kemudian akhirnya singgah istirahat di bawah sebuah pohon dengan kondisi bercucuran keringat dan kakinya berlumuran darah.
Rasulullah Shallallahi ‘alaihi wasallam mengeluh kepada Allah Subhanahu Wata’ala, Ya Allah kemanakah engkau akan arahkan tubuhku dan diriku ini?, apakah kepada masa depan yang tidak jelas?, ataukah kepada masyarakat Makkah yang sudah menolak dakwah ini?. Tetapi ya Allah, jika engkau tidak murka kepadaku atau perbuatanku ini tetap engkau ridhoi sebagai pencipta maka aku tidak peduli walaupun semua darahku harus mengucur habis.
Permintaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun diijabah oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Datang Malaikat Jibril menemui Rasulullah bersama Malaikat Gunung, kemudian Malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah, wahai Muhammad sesunguhnya apa yang engkau minta, jika engkau menginginkan maka tinggal engkau perintahkan kepada Malaikat Gunung ini untuk menyatukan gunung-gunung yang ada di Kota Thaif ini dengan gunung yag ada di Kota Makkah sehingga dua Kota ini hancur lebur, Allah binasakan dengan segala isinya dan kamu bisa bebas berdakwah di dalamnya atau engkau bersabar mendakwahi mereka, keluhanmu ya Muhammad…, Allah telah mendengarnya.
Kata Rasulullah, saya akan bersabar. Semoga saja dari kota ini akan lahir orang-orang yang akan beriman kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Akhirnya setelah pembebasan Kota Mekkah, banyak penduduk Kota Thaif yang masuk Islam, salah satunya adalah Abu Huraerah, salah seorang sahabat Nabi yang merupakan perawi hadist yang paling banyak. Inilah salah satu hikmah besar dibalik kesabaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kesabaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berpindah kepada bentuk lain dari kesabaran dalam menghadapi orang-orang musyrikin, sabar menghadapi mereka di medan perang dan jihad, sabar di atas tusukan tombak tajam, ujung anak panah dan kilatan pedang, kesabaran seperti yang diperlihatkan oleh para Rasul Ulul Azmi.
Dalam perang Uhud, gigi seri beliau patah, wajah beliau yang mulia terluka, luka-luka mendera beliau. Beliau tetap sabar dan mengharap pahala dari Allah. Ibnu Mas’ud menceritakan hal ini, di berkata, “seolah-olah aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan seorang Nabi dari para Nabi, yang kaumnya memukulnya sampai berdarah sementara dia mengusap darah dari wajahnya sambil berucap,
اللهم اغفر لقومي فانهم لا يعملون
‘Ya Allah, ampunilah kaumku sesungguhnya mereka tidak mengetahui”
Maha benar Allah yang berfirman,
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Sesungguhnya kamu benar-benar di atas akhlak yang agung” (Q.S Al-Qalam ayat 4)