Artikel

Seri Ceramah Tarawih 14: Kesetiaan & Penjagaan Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam terhadap Perjanjian

Oleh:

Kasman Gani

Ketua Departemen Dakwah Wahdah Islamiyah Mamuju

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang senantiasa memenuhi hak-hak dari istri-istri beliau. Penjagaan beliau terhadap cinta dan janjinya merupakan kisah kesetiaan suami kepada istri yang paling agung dan paling indah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling memenuhi janjinya, paling menjaga janjinya dan paling jujur di bidang ini. Bahkan musuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dikisahkan bahwa suatu ketika tatkala Abu Sufyan belum masuk Islam beliau menghadap Raja Romawi yaitu Kaisar Heraclius. Heraclius ini mendapat surat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memeluk Agama Allah Subhanahu Wata’ala, untuk melaksanakan sholat, menunaikan zakat.

Heraclius bertanya kepada Abu Sufyan, bagaimana pendapatmu tentang Nabi Muhammad, orang yang berani mengirimkan surat kepadaku dan mengajakku masuk Islam. Abu Sufyan mengatakan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang jujur, orang yang tidak pernah mengingkari janjinya, orang yang senantiasa melakukan ketaatan. Heraclius pun mengatakan, betul-betul beliau adalah nabi utusan Allah Subhanahu Wata’ala.

Kesetiaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam memenuhi hak-hak Allah Subhanahu Wata’ala. Beliau adalah orang yang paling amanah, orang yang paling jujur tatkala beliau berjanji, Rasulullah selalu memenuhi janjinya. Ketika beliau bertanya kepada sahabatnya, bagaimanakah pendapat kalian tentang aku diutus oleh Allah Subahanhu wata’ala, apakah aku telah menyampaikannya semua, maka para sahabat mengatakan iya, semua yang disampaikan oleh Rasulullah adalah apa yang diutus Allah Subhanahu Wata’ala.

Allah Subhanahu Wata’ala mempersaksikan dalam Al-qur’an, bagaimana Rasulullah diberikan amanah oleh Allah, beliau senantiasa melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Sebagaimana Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu (Q.S Al-Maidah: 3).

Itu persaksian Allah Subhanahu Wata’ala atas amanah yang diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Suatu ketika Rasulullah bertanya kepada sahabatnya, apakah aku sudah meyampaikan amanah yang datangnya dari Allah Subhanahu Wata’ala, maka para sahabat berkata, iya. Rasulullah memohon kepada Allah Subhanahu Wata’ala sebagai saksi, Ya Allah saksikanlah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang senantiasa memenuhi hak-hak dari istri-istri beliau. Penjagaan beliau terhadap cinta dan janjinya merupakan kisah kesetiaan suami kepada istri yang paling agung dan paling indah.

Dari Aisyah Radiallahu ‘anha beliu berkata, aku tidak pernah cemburu pada seorang istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam seperti aku cemburu kepada Khadijah, aku tidak sempat melihat beliau akan tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sering menyebut namanya, terkadang beliau menyembelih domba kemudian beliau memotong-motongnya kemudian mengirimnya kepada kawan-kawan Khadijah. Aku pernah berkata kepadanya, “seolah-olah di dunia ini tidak ada wanita selain Khadijah. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, dia adalah (seorang utama), dan dia adalah (seorang baik), dan aku mempunyai anak darinya.

Kisah kesetiaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memenuhi kerabat-kerabat beliau, keluarga-keluarga beliau, mencapai puncak kesempurnaan akhlak Rasulullah, orang-orang yang senantiasa selalu memusuhi beliau padahal keluarga Rasulullah sendiri, bagaimana bakti Rasulullah kepada mereka.

Kisah kesetiaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam memenuhi hak-hak Pamannya, Abu Thalib yang telah mendidiknya sejak kecil sampai beliau dewasa setelah kakeknya, Abdul Muthalib wafat. Ketika Abu Thalib menghadapi kematian, tergeraklah persaan setia pada diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, penghulu orang-orang yang setia, maka beliau berusaha keras untuk memberinya manfaat dan menyelamatkannya dari api neraka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pamannya berkenan masuk Islam, beliau memohon kepadanya,

أَيْ عَمِّ، قُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللهِ

“Paman, ucapkanlah laa ilaaha illallaah. Sebuah kalimat yang nanti akan kubela engkau di hadapan Allah”.

Namun para pemuka kekufuran terus menghalang-halangi Abu Thalib sehingga akhirnya di wafat di atas Agama leluhurnya. Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah berkata, “Wahai Abu Thalib, apakah kamu membenci Agama Abdul Muththalib?” Keduanya terus merayu Abu Thalib sehingga kalimat terakhir yang diucapkan oleh Abu Thalib adalah, “di atas Agama Abdul Muththalib”.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersedih karena itu, kesetiaan beliau yang besar untuk memenuhi hak-haknya terus menguasai diri beliau, sehingga beliau pun berkata, “Aku akan memohon ampunkan untukmu selama aku tidak dilarang”.

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam (QS. At-Taubah Ayat 113).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menorehkan banyak sikap kesetiaan dalam memenuhi perjanjian dengan orang-orang musyrikin dan orang-orang yahudi. Diantaranya adalah kesetiaan beliau terhadap syarat-syarat perjanjian damai Hudaibiyah, yaitu syarat-syarat yang membuat marah banyak orang dari sahabat beliau.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menenangkan hatinya, beliau membuka pintu harapan dan optimisme serta kepercayaan kepada Allah baginya, beliau menjelaskan bahwa diantara akhlak kenabian dan Islam adalah memenuhi perjanjian, tidak ada penghianatan.

 

Mamuju, 14 Ramadhan 1440 H

Ditulis oleh : Abu Muadz Ashriady

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button