Seri Ceramah Tarawih 18: Santun, Pemaaf & Lapang Dada Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam
Oleh:
Fajaruddin Djarir, SE
Wakil Ketua Wahdah Islamiyah Mamuju
Di tengah-tengah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terkadang terjadi kecemburuan antara satu dengan yang lain, menyatukan istri-istri beliau bukanlah perkara yang mudah. Beristri lebih dari satu memang butuh pengorganisasian yang baik, bahkan dalam riwayat dijelaskan bagaimana istri-istri nabi terkadang membentuk kubu-kubu, ada kubu Aisya, ada kubu Zainab dan lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang suami yang bisa menyelesaikannya dengan baik tanpa menimbulkan permasalahan yang berarti.
Banyak sekali bagian-bagian dari kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan sifat kesantunan, pemaaf dan lapang dada beliau. Allah Subhanahu Wata’ala telah berfirman mengakui kelembutan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (QS. Ali ‘Imran Ayat 159).
Kelembutan dan sikap santun adalah sifat yang disifatkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau adalah orang yang paling sempurna akhlaknya dalam masalah ini, dalam kelapangan dada, dalam pemberian maaf, dalam kesantunan sebagaimana Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan beliau. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh (QS. Al-A’raf Ayat 199).
Allah juga menyebutkan tentang perkara ini adalah bagian dari sifat ‘Ibadurrahman, sebagaimana Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik” (QS. Al Furqon Ayat 63).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa menghiasi diri beliau dengan sifat ini. Hal ini nampak jelas ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah kepada orang-orang Quraisy, meluruskan aqidah mereka, mencegah mereka dari melakukan kesyirikan, orang-orang Quraisy melakukan hal-hal yang buruk kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka menuduh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tukang sihir, orang gila, menyiksa sahabat-sahabat beliau bahkan sampai berusaha membunuh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memerintahkan Anas bin Malik dalam sebuah urusan, akan tetapi Anas bin Malik ini tidak melakukannya. Kemudian dia berhenti di kerumunan anak-anak, tiba-tiba Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam datang dibelakangnya, pada waktu itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak marah kepadanya melainkan memanggil Anas bin Malik dengan panggilan yang baik. Rasulullah mengatakan “Wahai Unais, apakah engkau telah pergi melakukan pekerjaan yang saya perintahkan?”.
Pada seorang anak-anak, beliau begitu lembut menegur untuk sesuatu yang belum dilakukan. Anas bin Malik pernah berkata, demi Allah saya telah melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam selama 9 tahun lamanya tetapi saya tidak pernah mendengar dari beliau mengatakan kepada saya tentang apa yang saya tidak lakukan. Beliau tidak pernah bertanya kepadaku kenapa kamu tidak melakukan?, bahkan untuk bertanya seperti itu pun Rasulullah tidak melakukannya.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ ، فَأَرْسَلَتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ مَعَ خَادِمٍ بِقَصْعَةٍ فِيهَا طَعَامٌ فَضَرَبَتْ بِيَدِهَا ، فَكَسَرَتِ الْقَصْعَةَ ، فَضَمَّهَا ، وَجَعَلَ فِيهَا الطَّعَامَ وَقَالَ « كُلُوا » . وَحَبَسَ الرَّسُولَ وَالْقَصْعَةَ حَتَّى فَرَغُوا ، فَدَفَعَ الْقَصْعَةَ الصَّحِيحَةَ وَحَبَسَ الْمَكْسُورَةَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pernah berada di sebagian istrinya (yaitu ‘Aisyah). Salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Ummahatul Mukminin yaitu Zainab binti Jahsy) mengutus pembantunya untuk mengantarkan piring berisi makanan. Lantas ketika itu ‘Aisyah memukul piring tersebut. Piring tersebut akhirnya pecah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengumpulkan bagian yang pecah tersebut. Kemudian beliau meletakkan makanan di atasnya, lalu beliau perintahkan, “Ayo makanlah kalian.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menahan piring tersebut hingga selesai. Piring yang bagus diserahkan beliau, lantas piring yang pecah ditahan” (HR. Bukhari No. 2481).
Dalam kisah lain, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, aku menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa khazirah (sejenis masakan daging dicampur dengan tepung) yang sudah aku masak untuk beliau. Aku katakan kepada Saudah yang berada di sebelah Nabi, “Ayo makan.” Namun Saudah enggan memakannya. Karena itu, aku katakan, “Engkau harus makan atau makanan ini aku oleskan ke wajahmu”.
Mendengar hal tersebut Saudah tetap tidak bergeming, maka aku ambil makanan tersebut dengan tanganku lalu aku oleskan pada wajahnya. ”Hal ini menyebabkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa lalu menyodorkan makanan tersebut kepada Saudah seraya mengatakan, “Balaslah olesi juga wajahnya.” Akhirnya Nabi pun tertawa melihat wajah Aisyah yang juga dilumuri makanan tersebut sehingga hal ini seperti permainan.
Di tengah-tengah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terkadang terjadi kecemburuan antara satu dengan yang lain, menyatukan istri-istri beliau bukanlah perkara yang mudah. Beristri lebih dari satu memang butuh pengorganisasian yang baik, bahkan dalam riwayat dijelaskan bagaimana istri-istri nabi terkadang membentuk kubu-kubu, ada kubu Aisya, ada kubu Zainab dan lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang suami yang bisa menyelesaikannya dengan baik tanpa menimbulkan permasalahan yang berarti.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan, “Serombongan orang Yahudi meminta ijin untuk bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka mengucapkan, ‘Assaamu ‘alaikum’, ‘Aisyah menjawab,
بَلْ عَلَيْكُمُ السَّامُ وَاللَّعْنَةُ
“Kematian atas kalian (juga) dan laknat”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menegur ‘Aisyah dengan mengatakan,
يَا عَائِشَةُ، إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ
“Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah itu suka dengan lemah lembut dalam segala urusan”. ‘Aisyah mengatakan, “Tidakkah Engkau mendengar ucapan mereka?”. Rasulullah menjawab,
قَدْ قُلْتُ وَعَلَيْكُمْ
“Sungguh aku telah menjawab ‘wa’alaikum.’” (HR. Muslim No. 2165)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang santun, pemaaf dan memiliki kelapangan dada yang sangat tinggi dengan siapa saja beliau betinteraksi. Maka Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS. Al-Qalam Ayat 4).
Mamuju, 18 Ramadhan 1440 H
Ditulis oleh : Abu Muadz Ashriady