Seri Ceramah Tarawih 6: Tawadhu’ (Rendah Hati) Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
Oleh:
Irwanto Ar, S.IP
Digambarkan bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tunduk, ketika ingin naik di kendaraanNya, dagunya hampir menyentuh pelana untanya. Menunduk bentuk ketawadhuan, tidak ada kesombongan, tidak ada sikap jumawa, merasa hebat, merasa menang, merasa kuat, setelah kemudian dikatakan sebagai seorang pemenang.
Malam ini kita sudah memasuki malam ke 6 di Bulan Ramadhan dan kita mulai menghitung hari, ada kekhawatiran jangan sampai Ramadhan ini berlalu tanpa mendapatkan hikmah darinya. Kita khawatir jika tdk mendapatkan ampunan dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760)
Jibril alaihi wasalam pernah berdoa dan diaminkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Suatu ketika Rasulullah naik ke atas mimbar dan mengatakan amin, saat itu malaikat Jibril berdoa dan Rasulullah mengaminkan, salah satu diantara 3 doa Jibril adalah kecelakaan bagi mereka menjumpai Bulan Ramadhan dan keluar darinya namun tidak mendapatkan ampunan dari Allah. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengaminkan, oleh karena itu mari kita khawatir dan takut serta berharap agar ibadah yang kita lakukan mendapatkan pahala disisi Allah Subhanahu Wata’ala.
Kita akan membicarakan tentang sebuah akhlak yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kemuliaan. Orang-orang yang kata imam syafii: tawadhu adalah akhlak yang dimiliki oleh orang-orang yang mulia.
Dalam bahasa keseharian kita, tawadhu artinya rendah hati dan lawan tawadhu adalah sombong. Jika ada yang bertanya, apakah kita menginginkan berteman dengan orang-orang yang sombong?. Maka siapa pun tidak akan ada yang mau berteman dengan orang-orang yang memiliki sifat sombong. Bahkan orang sombong sekalipun tidak akan mau berkenalan atau berteman dengan orang sombong.
Cukuplah kemudian kejelekan sifat sombong ini, dari pelaku sombong tersebut berkenaan dengan mereka. Kemudian bagaimana kita memahami tawadhu ini dari perspektif Allah dan RasulNya.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji dzarrah.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain” (HR. Muslim No. 91)
Dzarrah menggambarkan partikel paling kecil, maka sebesar itu saja kesombongan yang ada dalam hati manusia, maka dia tidak akan masuk surga kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi Makna tawadhu adalah menerima kebenaran dan memuliakan orang-orang. Sesungguhnya orang-orang beriman adalah mereka yang tunduk atau siap menerima kebenaran darimana pun datangnya.
Sebagaimana gambaran orang-orang beriman ketika diseru Allah dan Rasul-Nya mereka mengatakan:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا
“Hanya ucapan orang-orang beriman, yaitu ketika mereka diajak menaati Allah dan Rasul-Nya agar Rasul-Nya tersebut memutuskan hukum di antara kalian, maka mereka berkata: Sami’na Wa Atha’na (Kami telah mendengar hukum tersebut dan kami akan taati)” (QS. An Nuur: 51)
Kemudian bagaimana makhluk Allah yang bernama iblis ketika menolak diperintahkan Allah Subhanahu wata’ala menyembah. Menolak dan mengatakan sesungguhnya saya lebih baik daripada Adam. Inilah bentuk kesombongan dan kemudian melahirkan pembangkangan dari iblis.
Contoh teladan dari manusia yang mulia tentang sifat tawadhu. Disebutkan ketika Rasulullah di Fathu Makkah di tahun ke 8 Hijriyah setelah beliau kurang lebih 8 tahun terusir dari Makkah dan kembali setelah berhasil kemenangan kaum muslimin. Beliau masuk Makkah digambarkan dengan ketawadhuan beliau, padahal beliau datang sebagai pemenang.
Digambarkan bagaimana beliau tunduk, ketika ingin naik di kendaraanNya, dagunya hampir menyentuh pelana untanya. Menunduk bentuk ketawadhuan, tidak ada kesombongan, tidak ada sikap jumawa, merasa hebat, merasa menang, merasa kuat, setelah kemudian dikatakan sebagai seorang pemenang.
Itu semua terjadi karena kesadarannya bahwa kemenangan yang beliau dapatkan bukanlah karena kemampuan beliau tetapi sesuatu datanganya dari Allah Subhanahu wata’ala. Maka lihatlah contoh yang lain yang juga Allah sebutkan di dalam Al-qur’an tentang manusia yang sombong, yang diberikan kekayaan kemudian dia menganggap itu ada karena kemampuannya, itulah Qorun. Allah Subahanahu wata’ala berfirman:
قَالَ اِنَّمَاۤ اُوۡتِیۡتُہٗ عَلٰی عِلۡمٍ عِنۡدِیۡ
“Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”…(QS. Al Qashash:78)
Ketika suatu hari seorang Arab badui ingin bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasaalam. Arab badui ini grogi, gemetar dan takut karena ingin bertemu dengan Rasulullah yang namanya sudah dikenal. Rasulullallah Shallallahu ‘alaihi wasallam melihat orang ini kemudian mengatakan: “Tenang, buatlah dirimu rileks! Aku bukanlah seorang raja. Tetapi aku hanyalah putra seorang perempuan yang makan daging kering”.
Saat terjadi perang khandaq dilakukan penggalian parit sejauh 5 meter, Rasulullah pun ikut menggali parit tersebut. Padahal beliau adalah panglima perang, beliau adalah pemimpin bahkan pada waktu itu sedang musim paceklik. Terdapat seorang sahabat yang mengeluhkan keadaannya bahwa ia dalam kondisi lapar, ternyata kondisi Rasulullah pun seperti itu keadaannya, sama dalam kondisi lapar.
Contoh yang lain ketika ada wanita yang terganggu akalnya (kurang waras) sangat ingin dilayani oleh Rasulullah. Kemudian Rasulullah mengatakan: “tunjukkan saya dimana jalan yang akan engkau tuju, nanti saya antar”. Pemimpin besar tapi memiliki ketawadhuan yang tinggi sampai rakyat yang terendah juga ingin dilayani beliau, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ketika beliau berkendaraan atau naik onta selalu ada orang yang di bonceng. Sampai ada sebuah buku yang meyebutkan bahwa 30 sahabat yang pernah dibonceng Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Shafiyyah salah satu istri beliau, yang keluarganya (Bapak, Paman, Saudara) terbunuh saat berperang dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Manusiawi jika Shafiyyah menaruh dendam terhadap Rasulullah akan tetapi berkat ketawadhuan beliau dapat meluluhkan hati Shafiyyah sehingga kemudian menjadi istrinya. Salah satu bentuk ketawadhuan Rasulullah ketika Shafiyyah akan naik ke atas unta, maka Rasulullah menegakkan lututnya untuk menjadi tangga, akhirnya Shafiyyah naik ke atas unta dengan menginjak paha Rasulullah.
Rasulullah sebaik-baik teladan, banyak kepribadian beliau yang bisa kita ambil pelajaran, Wallahu’alam.
Mamuju, 6 Ramadhan 1440 H
Ditulis oleh : Agus Sapto Widodo
Diedit oleh : Abu Muadz Ashriady