Sikap Seorang Mu’min terhadap Musibah
(Al Balagh Ed.74/Th.II/30 Dzulhijjah/1427 H)
Apabila musibah menimpa, maka kita harus segera mengambil sikap agar beban menjadi ringan bahkan menjadi rahmat.
Pertama, apabila ditimpa musibah hendaknya kita membaca innaa lillaahi wainnaa ilaihi raaji’uun, sesungguhnya kita milik Allah dan kepadaNyalah kita akan dikembalikan. Allah berfirman: ”yaitu orang-orang yang ditimpa musibah mereka mengucapkan innaalillaahi wa-innaa ilaihi raaji’un”. Rasulullah bersabda: ”tidaklah seorang hamba ditimpa musibah lalu beristirjaa’ niscaya Allah Ta’ala akan memberi ganjaran pada musibahnya dan akan menggantikannya dengan yang lebih baik darinya” (HR.Muslim).
Ucapan istirjaa’ mengandung pengertian bahwa diri kita, keluarga dan harta benda adalah milik Allah. Ketika kita lahir, kita tidak memiliki apa-apa. Demikian sampai kita meninggal nanti kita tidak akan membawa apa-apa. Semua itu kita akan tinggalkan dan kita tidak akan membawa sesuatu kecuali amal shalih kita. Karena itu, persiapan diri adalah mutlak untuk menghadapi hari tersebut.
Kedua, hendaknya kita yakin dengan takdir Allah baik dan buruknya. Ini penting, karena keyakinan dengan rukun iman yang keenam ini akan meringankan beban kita. Iman kepada takdir memberi kita semacam ‘kekebalan dini’ dengan kesadaran sedalam-dalamnya bahwa segala sesuatu yang telah, sementara dan akan terjadi itu telah tertulis di lauh al-mahfuzh. Dengan demikian, apapun yang menimpa kita tetap berada dalam bingkai kesadaran sehingga musibah akan terasa lebih ringan.
Rasulullah bersabda dalam do’anya yang terkenal: “…anugerahkanlah pada kami keyakinan yang menjadikan musibah terasa ringan…”(HR. Tirmidzi dan Hakim). Allah Ta’ala berfirman: “tiada satu bencanapun yang menimpa di muka bumi dan tidak pula pada dirimu kecuali telah tertulis pada kitab sebelum kami menciptakannya. Sesunggguhnya itu mudah bagi Allah. Yang demikian itu mudah bagi Allah supaya kamu jangan berduka cita dengan apa yang luput dari kamu dan supaya kamu tidak terlalu gembira dengan apa yang diberikan Allah padamu. Dan Allah tidak menyukai orang sombong lagi bangga diri” (QS. Al-Hadiid: 22-23). Ketika ada hal-hal yang luput, penderitaan, kesulitan kita tidak perlu terlalu bersedih hati dan menjadikan kita bersangka buruk kepada Allah.
Ketiga, hendaknya kita bersyukur karena musibah yang menimpa kita tidaklah lebih besar dari yang menimpa orang lain. Begitu banyak orang yang mendapatlan musibah jauh lebih mengenaskan dari kita. Seberat apapun musibah dunia kita yakinlah masih ada yang lebih berat dari kita. Atau tidak sedikit orang yang sebenarnya terkena musibah tapi orangnya tidak merasakannya, karena yang tertimpa adalah agamanya.
Perhatikanlah keadaan sekarang begitu banyak orang yang takut naik pesawat tidak lama setelah ada pesawat terbang jatuh, mungkin ini adalah sesuatu yang lumrah. Tapi yang mengherankan adalah tidak sedikit yang terjatuh pada musibah agama (musibah diniyah) dan ia sedikitpun tidak merasa sedih. Terjatuh pada perzinahan, makan riba, membunuh jiwa yang tidak halal, pergi ke dukun atau tukang ramal dan membenarkannya adalah diantara musibah diniyah, bahkan yang terakhir bisa menggelincirkan pelakunya dari Islam. Itulah sebabnya Rasulullah mengajarkan sebuah do’a agar kita tidak tergelincir dari musibah ini. Dalam do’anya beliau bersabda: ”ya Allah jangan engkau jadikan musibah kami dalam agama kami“ (HR. Tirmidzi dan Hakim).
Keempat, hendaknya kita sedapat mungkin tidak berkeluh kesah, menggerutu atas musibah yang melanda. Sebab itu semua tidak akan mengembalikan apa yang telah hilang. Berkeluh kesah juga menunjukkan seseorang tidak ridha dengan takdir Allah. Bagi mereka yang menjaga shalatnya, menjaga kehormatannya, menunaikan zakat, beriman kepada hari akhir dan hari kemudian tidak akan berkeluh kesah.
Mengeluh kepada manusia juga tidak memberi banyak manfaat karena akan menodai kesabaran dan keridhaan. Para salafus shalih jika mereka ditimpa musibah sekecil apapun, ia langsung mengeluhkannya kepada Allah. Bahkan diantara mereka ada yang mengeluh kepada Allah karena tali sandalnya putus. Kalau musibah mereka tergolong berat, seperti kematian anak, orang tua, kerabat dan lain-lain, mereka berusaha menyembunyikannya dan tidak mengabarkannya kecuali untuk urusan memandikan, menshalatkan, dan menguburkannya.
Kelima, kita harus yakin bahwa apa yang menimpa, jika kita sabar dan ridha, maka Allah pasti memberikan gantinya. Allah akan memberi kenikmatan, berkah, kelezatan, kebaikan yang berlipat ganda. Bahkan musibah yang melanda akan menghapuskan dosa-dosa dan akan menyucikan jiwa-jiwa kita. Allah ta’ala berfirman: ”mereka itulah yang akan mendapatan shalawat dari Tuhannya, rahmat dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk” (QS.al-Baqarah: 157). Semoga kita menyikapi setiap bencana yang menimpa dengan baik dan benar. Sabar dan ridho serta selalu bersyukur kepada Allah Ta’ala, insya Allah kita akan mendapatkan kelezatan iman.
Hikmah dibalik Musibah (Risalah untuk orang-orang yang tertimpa musibah dan dirindung duka). Fariq bin Gazim Anuz
Sumber dari: http://wahdah.or.id/ketika-musibah-menimpa/