Pemuda Bertongkat yang Optimis walau Hidup Serba Kekurangan
Pengakuan anak yang lebih akrab disapa ammank ini bahwa selama bersekolah di SMA 3, seringkali tidak pergi ke sekolah karena keterbatasan biaya untuk sewa kendaraan (ojek) menuju sekolah.
Nama lengkapnya Rahman Syamsuddin, lahir di Sampoang kalukku pada tanggal 31 Desember tahun 2002. Seorang pemuda yang duduk di bangku kelas 2 SMA. Hidup tidak seberuntung teman seusianya, sejak kecil anak ini telah kehilangan kaki kirinya.
Cacat kaki yang dialami akibat dijatuhi pohon kelapa dikampung halamannya di Sampoang Kalukku. Peristiwa ini terjadi pada saat Rahman masih duduk di bangku kelas 4 SD yang saat itu baru berumur sekitar 12 tahun.
Biaya operasi kakinya dibantu oleh pemerintah dan akhirnya memilih pindah di Mamuju. Saat berdomisili di Mamuju, langsung masuk kelas 6 SD karena memperoleh kebijakan khusus. Menurut pengakuan salah seorang guru SD puncak, Rahman lama menganggur dikarenakan kakinya yang telah melalui proses amputasi.
Setelah tamat dari SD puncak, anak ini melanjutkan sekolahnya ke SMP 2 Mamuju. Setelah tamat dari SMP kemudian kembali melanjutkan sekolah ke SMA 3 Mamuju, hingga akhirnya saat ini sementara duduk di bangku kelas 2 SMA.
Pengakuan anak yang lebih akrab disapa ammank ini bahwa selama bersekolah di SMA 3, seringkali tidak pergi ke sekolah karena keterbatasan biaya walau untuk sekedar sewa kendaraan (ojek) menuju sekolah.
Dengan kondisi tersebut membuat anak yang bertongkat ini, menjalani aktifitas bersekolah terkadang hanya bisa 2 kali dalam sepekan. Menurut Rahman, Ibunya yang hanya bekerja mengelola kebun yang dipinjamkan orang lain. Hasil dari penghasilan itulah yang digunakan untuk membiayai sekolah mulai dari SD hingga sekarang.
Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, ibunya juga terkadang membuat sagu atau membuat atap dari daun rumbiyah kemudian dijual ke orang lain. Keluarga Rahman, saat ini masih tinggal di sebuah rumah sangat sederhana yang tanahnya milik orang lain dimana sewaktu-waktu keluarga ini harus siap-siap pindah jika ada penggusuran.
Dengan kondisi kekurangan seperti ini, tetap ada jiwa optimis dalam diri Ammank. Walaupun harus dengan bertongkat melewati medan rumahnya yang mendaki, namun anak ini jarang ketinggalan sholat berjamaah di Masjid, kecuali beliau sakit.
Bahkan menariknya, akhir-akhir ini Ammank sangat rajin menghadiri kegiatan-kegiatan pengajian keAgamaan. Dengan dibonceng motor oleh temannya, selalu nampak anak ini dengan jubah khasnya dan tak lupa membawa sebotol air kemasan untuk diberikan kepada pemateri yang membawakan kajian.
Sebuah pelajaran bermakna dalam hidup ini, ternyata memberi tidak harus dalam kondisi yang berkecukupan. Anak bertongkat yang hidup dalam kondisi kekurangan tetap optimis berbuat kebaikan.
Penulis
Ashriady Abu Muadz
(Departemen Sosial Wahdah Islamiyah Mamuju)
Kontributor: Hasan, Abu Jibrann, Ammank